Makalah Kedudukan Dan Fungsi Akal
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Akal memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan mulia sekali
didalam Islam. Dengan akal maka terselamatlah diri daripada mengikuti hawa
nafsu yang sentiasa menyuruh untuk melakukan keburukan. Dan setiap perbuatan
buruk adalah yang akan membawa manusia ke Neraka Jahannam, Allah berfirman :
Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau
memikirkan (peringatan itu) nescaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni
neraka yang menyala-nyala". [Q.S. Al-Mulk : 10]
Ayat ini menerangkan tentang penyesalan para penghuni neraka
yang tidak mahu mendengar dan menggunakan akal ketika hidup di dunia. Bererti,
kedudukan akal sangat tinggi dan mulia sekali ; iaitu mampu memelihara manusia
dari api neraka.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan
peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai
standar seseorang diberikan beban taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang
kehilangan akal maka hukum-pun tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap
sebagai orang yang tidak terkena beban apapun.
Didalam Islam, dalam menggunakan akal mestilah mengikuti
kaedah-kaedah yang ditentukan oleh wahyu supaya akal tidak terbabas, supaya
akal tidak digiring oleh kepentingan, sehingga tidak menghalalkan yang haram
dan mengharamkan yang halal, sehingga tidak menjadikan musuh sebagai kawan dan
kawan pula sebagai musuh.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi
teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (kerana) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang
menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian darpadai mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan
kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya (dengan menggunakan
akalmu). [Q.S. Ali ‘Imran : 118]
Meskipun
demikian, akal bukanlah penentu segalanya. Ia tetap memiliki kemampuan dan
kapasitas yang terbatas. Oleh karena itulah, Allah SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia
agar tidak tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia.
Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu
maka ia akan tersesat.
1.2.Rumusan Masalah
1.
Apakah Pengertian dari
Akal ?
2.
Bagaimana kedudukan dan
fungsi Akal dalam
ajaran islam?
3.
Bagaimana kedudukan dan
fungsi Akal dalam
ajaran Al quran?
1.3.Tujuan
Tujuan
disusunnya makalah ini adalah agar para pembaca dapat mengetahui bagaimana
pentingnya mempelajari, mamahami, menjaga, dan menggunakan Akal yang diberikan
kepada kita agar dapat difungsikan dengan sebaik baiknya sesuai dengan tujuan
awal Allah SWT menganugerahkannya kepada kita umat manusia.
1.4.Manfaat
Banyak manfaat yang dapat
kita pelajari dari makalah ini, diantaranya ialah:
1.
Kita dapat mengetahui apa
pengertian dari akal,
2.
Kita dapat mengetahui
bagaimana fungsi dan kedudukan akal,
3.
Memperluas wawasan kita
mengenai akal dan fungsinya menurut
pemikiran islam
4.
Memperluas wawasan kita
mengenai akal dan fungsinya menurut
pemikiran al
quran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Akal
Akal
berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi memiliki banyak
makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni
kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab al-munjid fi al-lughah
wa al a’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai,
mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir).
Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun nuhaniyyun
bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang
dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai
oleh indera. Al-‘aql juga diartikan al-qalb,
hati nurani atau hati sanubari.
Pengaruh
filsafat Yunani terhadap filosofi-filosofi muslim terlihat dalam pendapat
mereka tentang akal yang dipahami sebagai salah satu daya dari jiwa
(an-nafs/ ar-ruh) yang terdapat dalam diri manusia. Seperti Al-Kindi
(796-873) yang terpengaruh Plato, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat
tiga daya, daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwatiyah) yang berada di perut, daya
berani (al-quwwah al-ghadabiyyah) yang bertempat di dada dan daya
berfikir (al-quwwah an-natiqah) yang berpusat di kepala. Sementara itu, di
kalangan teolog muslim, mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh
pengetahuan, seperti pendapat Abu al-Huzail, akal adalah daya untuk
memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat
membedakan dirinya dengan benda-benda lain, dan mengabstrakkan benda-benda yang
ditangkap oleh panca indera.
Dengan
demikian akal dalam pengertian Islam, bukanlah otak, akan tetapi daya berfikir
yang terdapat dalam jiwa manusia, daya untuk memperoleh pengetahuan
dengan memperhatikan alam sekitarnya. Dalam pengertian inilah akal yang
dikontraskan dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia,
yakni dari Allah SWT.
2.2. Kedudukan dan Fungsi Akal dalam Ajaran Islam
2.2.1. Kedudukan Akal Dalam Syari'at Islam.
Syari'at
Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat penting dan tinggi terhadap akal
manusia. Itu dapat dilihat dari point-point berikut:
1.
Allah
subhanahu wa'ta'ala hanya menyampaikan kalam-Nya (firman-Nya) kepada
orang-orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan
syari'at-Nya. Allah
subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan
kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami
tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rohmat dari kami dan
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran". (QS. Shaad [38]: 43).
2.
Akal merupakan syarat
yang harus ada dalam diri manusia untuk mendapat taklif (beban kewajiban) dari
Allah subhanahu wa'ta'ala.
Hukum-hukum
syari'at tidak berlaku bagi mereka yang tidak mempunyai akal. Dan diantaranya
yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya.
Rosululloh sholallahu 'alaihi wa sallama bersabda:
"رُفِعَ
القَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ وَمِنْهَا : الجُنُوْنُ حَتَّى يَفِيْقَ"
"Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat
(dibebaskan) dari tiga golongan, diantaranya: orang gila samapai dia kembali
sadar (berakal)". (HR. Abu Daud: 472 dan Nasa'i: 6/156).
3.
Allah
subhanahu wa'ta'ala mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya
celaan Allah subhanahu wa'ta'ala terhadap ahli neraka yang tidak menggunakan
akalnya. Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan
mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan
itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang
menyala-nyala". (QS. 067. Al Mulk [67]: 10)
Dan Allah
subhanahu wa'ta'ala mencela orang-orang yang tidak mengikuti syari'at dan
petunjuk Nabi-Nya. Allah subhanahu
wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan
apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa
yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. 002. Al Baqarah [2]:
170).
4. Penyebutan begitu banyak proses dan aktivitas kepemikiran dalam
Al-Qur'an, seperti tadabbur, tafakkur, ta'aquul dan lainnya. Seperti kalimat
"La'allakum tafakkarun" (mudah-mudahan kalian berfikir) atau
"Afalaa Ta'qiluun" (apakah kalian tidak berakal), atau "Afalaa
Yatadabbarunal Qur'an" (apakah mereka tidak merenungi isi kandungan
Al-Qur'an) dan lainnya.
5. Al-Qur'an banyak menggunakan penalaran rasional.
Misalnya
ayat-ayat berikut ini: Artinya:"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau
kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya".
(QS. An Nisaa' [04]: 82)
Artinya:"Sekiranya
ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah,
tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang
mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan". (QS. Al Anbiyaa' [21]:
22 )
Artinya:"Apakah
mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka
sendiri)?". (QS. Ath Thuur [52]: 35 ).
6.
Islam mencela taqlid yang
membatasi dan melumpuhkan fingsi akal.
Allah
subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan
apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa
yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al Baqarah [2]: 170)
Islam
memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti
kebenaran.
Allah
subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan
orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali
kepada Allah, bagi
mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-
hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan
mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal". (QS. Az Zumar [39]:
17-18).
Allah
subhanahu wa'ta'ala menggunakan ayat kauniyah untuk membuktikaan adanya
pencipta ayat kauniyah tersebut. Dan itu merupakan suatu proses berfikir
(menggunakan akal) yang dibutuhkan untuk mengetahui adanya hubungan antara alam
dan pencipta alam.
Allah
subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Yang
Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat
pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah
berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?. Kemudian
pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak
menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah".
(QS. Al Mulk [67]: 3-4)
2.2.2. Fungsi Akal dalam Memahami Ajaran Islam
Dalam hubungan dengan upaya memahami islam, akal memiliki fungsi yaitu
sebagai berikut:
1.
Fungsi akal sebagai sarana kebebasan
berfikir.
Islam sangat mengharagai kebebasan berfikir, karena suatu
peradaban tidak akan pernah bangun tanpa kebebasan ini. Pemikiran bebas dapat
membuka pintu pengetahuan sehingga karenanya bangsa-bangsa dan peradabannya
tumbuh berkembang. Pemikitan adalah buah akal. Akal salah satu nikmat Tuhan
yang dianugrahkan kepada manusia. Islam menganggap akal sebagai salah satu
unsur keberadaannya dan suatu energi hidup didalam bangunannya yang tinggi.
Karena itu islam selalu mengontrolnya dan memberinya batas-batas tertentu yang
harus dilalui gerakannya, dan tidak boleh melangkah lebih jauh melalui
batas-batas itu, agar tidak terjadi kerusakan dan kemudaratan di dalam
kehidupan ini. Akal harus bergerak di bawah sinar roh islam yang datang untuk
menyelamatkan manusia seluruhnya dari mara bahaya dan kerusakan.
2. Akal memiliki
fungsi yang sangat besar sekali didalam eksistensi manusia. Karena akal manusia
bisa memikirkan apa-apa yang kongkrit dan juga abstrak. Karena kekuatan akal
manusia bisa bertahan hidup didalam dunia ini.
3. Fungsi akal manusia yang paling
besar adalah untuk mengetahui hakikat kebenaran
4.
Sebagai
tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
5.
Sebagai
alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
6.
Sebagai
Alat penemu solusi ketika permasalahan datang.
2.2.3. Akal dalam Pemikiran Islam
Telah diketahui Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai
agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam memang lahir pada mulanya hanya
sebagai agama di Makkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi negara,
selanjutnya membesar di Damasyik, menjadi kekuatan politik internasional yang
daerahnya luas dan akhirnya berkembang di baghdad menjadi kebudayaan bahlkan
peradapan yang tidak kecil pengaruhnya, sebagaimana yang telah disebutkan di
atas, pada peradaban barat modern. Dalam perkembangan islam dalam kedua aspek
itu, akal memainkan peranan penting, bukan dalam bidang kebudayaan saja, tetapi
juga dalam bidang agama itu sendiri. Dalam membahas masalah-masalah keagamaan,
ulama-ulama Islam tidak semata-mata berpegang pada wahyu, tetapi banayk pula
bergantung pada pendapat akal.
Peranan akal yang besar dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan
dijumpai bukan pula hanya dalam bidang filsafat, tetapi juga dalam bidang
tauhid, bahkan juga dalam fikih dan tafsir sendiri .(Nasution Harun, 1986: 71)
1. Fikih
Memulai
pembicaraan tentang peranan akal dalam bidang fikih atau hukum Islam, kata
faqiha sendiri mengandung makna faham atau mengerti. Untuk mengerti dan
memahami sesuatu diperlukan pemikiran dan pemakaian akal.
Dengan
demikian fikih merupakan ilmu yang menbahas pemahaman dan tafsiran ayat-ayat
al-Qur’an, yang berkenaan dengan hukum. Untuk pemahaman dan penafsiran itu
diperlukan ihtihad, ihtihad pada asalnya mengandung arti usaha keras dalam
melaksanakan pekerjaan berat dan dalam istilah hukum berarti uasaha keras dalam
bentuk pemikiran akal untuk mengeluarkan ketentusn hukum agama dan
sumber-sumbernya.
2. Ilmu Tauhid dan Teologi
Kalau
dalam ilmu fikih peranan akal dalam hukum Islam yang dipermasalahkan, dalam
ilmu tauhid atau ilmu kalam, permasalahannya meningkat menjadi akal dan wahyu.
Yang dipermasalahkan adalah kesanggupan akal dan wahyu terhadap dua persoalan
pokok dealam agama, yaitu adanya Tuhan serta kebaikan dan kejahatan.
3. Falsafat
Sesuai
denagn pengertian falsafat sebagai pemikiran sedalam-dalamnya tentang wujud,
akal lebih banyak dipakai dan akal dianggap lebih besar dayanya dari yang
dianggap dalam ilmu tauhid apalagi ilmu fikih. Sebagai akibatnya
pendapat-pendapat keagamaan filosof lebih liberal dari pada pendapat-pendapat
keagamaan ulamatauhid atau teolog, sehingga timbul sikap salah menyalahkan
bahkan kafir-mengkafirkan diantara kedua golongan itu. Filosof-filosof Islam
berkeyakinan bahwa antara akal dan wahyu, antara falsafat dan agama tidak ada
pertentangan. Keduanya sejalan dan serasi.
Al-Farabi,
filosof yang datang sesudah Al-Kindi, juga berkeyakinan bahwa antara agama dan
falsafat tidak ada pertentangan. Menurut pandangannya kebenaran yang dibawa
wahyu dan kebenaran yang dihasilkan falsafat hasilnya satu, walaupun bentuknya
berbeda. Al-Farabilahfilosof Islam pertama yang mengusahakan keharmonisan
antara agama dan falsafat.
2.2.4.
Pemikir-Pemikir Pembaharuan Islam
Demikianlah
kedudukan akal dan wahyu dalam pemikiran keagamaan Islam zaman klasik, yang
terdapat dalam bidang fikih, bidang tauhid, dan bidang falsafat. Sesudah zaman
klasik yang berakhir secara resmi pada pertengahan abad ketiga belas, pemikiran
dalam Islam tidak berkembang. Tetapi pada zaman modern sekarang mulai pada
permulaan abad ke-sembilan belas, pemikiran atas dorongan nasionalisme yang
datang dari dunia barat mulai timbul kembali. Pemimpin-pemimpin pembaharuan
dalam Islam mulai menonjolkan kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur’an, dalam
Hadis dan dalam sejarah pemikiran Islam.
Kedudukan
tinggi dari akal di zaman modern ini dapat dilihat dalam pemikiran Ahmad Khan.
Bagi pemimpin pembaharuan dalam Islam di
India ini hanya Al-Qur’an uang bersifat absolut dan harus dipercayai. Lainnya
bersifat relatif, boleh diterima, boleh ditolak. Tetapi disamping itu ia punya
kepercayaan yangkuat pada akal dan hukum alam. Islam dalam pendapatnya adalah
agama yang sesuai dengan akal dan hukum alam. Oleh sebab itu pendapat-pendapat
yang tidak sesuai dengan akal dan hukum alam timbul karena salah pemahaman
ataupeun salah interprestasi tentang ayat-ayat al-Qur’an. Islam adalah agama
yang sesuai denagan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern. Disamping itu akal dapat membuat hukum mengenai
hal-hal yang diatas untuk diamalkan oleh manusia.
2.2.5. Peran Akal Dalam Memahami Islam
Ikatan antara akal dan agama adalah pembahasan yang cukup
mendetail dalam sejarah pemikiran manusia. Banyak cabang pembahasan yang
dibahas di dalamnya, di antaranya: bagaimana ikatan antara akal dan iman (dalam
pandangan dunia Barat dan Islam)? Masalah yang perlu dilontarkan ikatan antara
akal dan iman; keduanya menyangkut tentang keyakinan kita terhadap Allah Swt.
Apakah keimanan atau kepercayaan terhadap sesuatu harus dijelaskan melalui
dalil akal dan akal memberikan peran penting di dalamnya? Ataukah sudah
merupakan hal yang jelas sehingga tidak butuh lagi oleh penjelasan dalil akal.
Atau keimanan berdiri di luar garis tatanan akal dan tidak saling terkait?
Bagaimana hubungan antara akal dan syariat?
1. Akal dan Iman
Dalam pandangan agama Nasrani, pembahasan antara hubungan
antara iman dan akal, terdapat dua pandangan yang saling bertentangan. Pertama,
kesesuaian antara keyakinan-keyakinan agama dengan akal, contohnya; iman
terhadap Tuhan sesuatu yang diterima secara akal (Rasionalisme) Salah satu
tokohnya adalah Thomas Aquinas (1224-1273) berpendapat bahwa keimanan melalui
pengajaran oleh kitab suci dan keseluruhan ajaran atau peraturan yang ada di
dalamnya, adalah Tuhan langsung sebagai pengajarnya. Juga tidak diragukan
sebagai kitab suci (perkataan Tuhan) yang diyakini adalah sudah merupakan
hal-hal yang bersifat rasionalitas. Pendapat kedua,
keyakinan-keyakinan agama tidak sesuai dengan akal (Fideisme). Di antara
tokohnya adalah Alvin Plantinga (1932-) yang menyerupai fitrah pada diri
manusia, dengan mengatakan keyakinan manusia terhadap Tuhan terdapat dalam jiwa
manusia tanpa memerlukan dalil akal.
Hubungan akal dan agama secara jelas, bahwa akal dan agama
merupakan suatu pemberian Allah Swt yang keduanya menyampaikan manusia kepada
suatu kesempurnaan. Dalam ayat:; “Sesungguhnya kami turunkan alqur’an dengan
bahasa arab supaya mereka berakal.” [1]
Dalam Islam akal sangatlah terkait hubungannya dengan iman, yakni melalui
akalnya dia akan memahami agama karena akal adalah salah satu sumber syariat
Islam. Ikatan keduanya akan menghantarkan manusia ke jalan kebahagiaan. Dalam
riwayat Imam Shadiq berkata:”Akal adalah dalil seorang mukmin. Dan petunjuk
bagi orang mukmin.”Dalam riwayat lain disebutkan: “ Setiap yang berakal pasti
memiliki agama. Dan yang mempunyai agama akan menghantarkan ia ke surga.”[2] Dalam ayat dan riwayat di atas secara
tegas Islam sangat mementingkan masalah akal. Namun, ada beberapa pendapat
dalam mazhab Islam yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan dan ada
pula yang mendukung fungsi dan peran akal. Diantaranya: Pendapat Ahlul Hadist
; penggunaan dalil-dalil rasionalitas dalam masalah keimanan dan agama
adalah haram. Cukuplah perkara-perkara agama apa yang didatangkan oleh nabi..
Akal tidak mampu menyingkap hukum-hukum Tuhan. Juga mereka berpegang kepada
penafsiran yang nampak(dhahir) yang ada pada alqur’an, sehingga adanya pengertian
tajsim atau tasybih pada zat Tuhan. Begitu pula mereka mengklaim bid’ah
terhadap penafsiran dan takwil ayat-ayat alqur’an. Pendapat kaum Mu’tazilah
; penggunaan dalil-dalil rasionalitas yang sangat berlebihan. Pendapat Syiah
Imamiyah untuk menyingkap hukum agama diperlukan dalil rasionalitas baik itu
secara langsung maupun tidak langsung.
1.
Akal
dan Syariat
Akal memberikan hukumnya dalam bentuk
ikhtiyat(kehati-hatian), bara’ah (berlepas), pemilihan, memberikan fatwa
penafian segala bentuk yang berbahaya, dan lain-lain. Namun, kita percaya bahwa semua
perbuatan pasti mempunyai tujuan, dan manfaat tersebut akan kembali pada
manusia. Dalam syariat pun berlaku demikian. Kita berkeyakinan bahwa semua
hukum-Nya (termasuk hukum-hukum yang tidak diketahui manfaat dan tujuan oleh
kita) memiliki tujuan dan bermanfaat bagi manusia. Bukan hanya tugas seorang
ulama yang menemukan dengan melalui hasil ijtihadnya untuk menjelaskan
hukum-hukum syariat tadi, juga tugas dari para pakar sains dan ilmuwan untuk
menyingkap tujuan dari hukum-hukum tersebut. Para mujtahid bekerja sama dalam
menyingkap hukum berdasarkan dalil-dalil yang didapat dari alqur’an dan hadist.
Di sini Islam menentang adanya penafsiran hukum-hukum syariat berdasarkan
pendapat sendiri.
2.3.Kedudukan Akal dalam Memahami Al-Qur’an dan Sunah
Sebagaimana ijmak para mufasir, ayat al-Qur’an yang pertama
kali turun adalah surat al-‘Alaq, dengan redaksi ayat pertamanya sebagai
berikut:
ù&tø%$# ÉOó™$$Î y7Înu‘ “Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ
Artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.” (QS. al-‘Alaq
[96]: 1).
Jika kita cermati, perintah “iqra”(membaca) yang ada
dalam ayat tersebut mengindikasikan agar manusia mengoptimalkan fungsi akal
yang diberikan Allah kepadanya. Membaca berarti mengamati dan menalar sesuatu
yang pekerjaan ini adalah domain akal. Dengan iqra inilah pada
gilirannya manusia kemudian mempunyai ilmu pengetahuan dan pada gilirannya
mampu menundukkan realitas.
Di banyak ayat dalam al-Qur’an, Allah senantiasa mengingatkan
manusia untuk menggunakan akal pikiran dengan beberapa redaksi yang
berbeda-beda, diantaranya: nazara, tadabbara, tafakkara, faqiha, tadzakkara,
fahima, ayat.[1][5] Dalam banyak
ayat Allah juga menguatamakan orang-orang yang menggunakan akal pikirnya. Beberapa
ayat yang berkaitan dengan hal ini adalah sebagai berikut:
1. Menggunakan lafadz nazara
óOn=sùr& (#ÿrãÝàZtƒ ’n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# ôMßgs%öqsù y#ø‹x.
$yg»oYø‹t^t $yg»¨Yƒy—ur
$tBur $olm; `ÏB
8lrãèù ÇÏÈ
uÚö‘F{$#ur $yg»tR÷Šy‰tB
$uZøŠs)ø9r&ur $pkŽÏù
zÓÅ›ºuru‘
$uZ÷Fu;Rr&ur
$pkŽÏù
`ÏB
Èe@ä. £l÷ry—
8kŠÎgt
ÇÐÈ
Artinya: “Maka
apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana kami
meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak
sedikitpun? Dan kami hamparkan bumi itu dan kami letakkan padanya gunung-gunung
yang kokoh dan kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang
mata, (QS. Qâf [5]: 6-7).
ÌÝàYu‹ù=sù ß`»|¡RM}$# §NÏB t,Î=äz ÇÎÈ t,Î=äz `ÏB &ä!$¨B 9,Ïù#yŠ ÇÏÈ ßlãøƒs† .`ÏB Èû÷üt É=ù=Á9$# É=ͬ!#uŽ©I9$#ur ÇÐÈ
Artinya:
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia
diciptakan dari air yang dipancarkan. Yang keluar dari antara tulang sulbi
laki-laki dan tulang dada perempuan.” (QS.
at-Thariq [86]: 5-7).
2. Menggunakan lafadz tadabbara
ë=»tGÏ. çm»oYø9t“Rr& y7ø‹s9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿr㣉u‹Ïj9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä t©.x‹tFuŠÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÒÈ
Artinya: “Ini
adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai fikiran.” (QS. Shad [38]: 29)
Ÿxsùr& tbrãy‰tGtƒ šc#uäöà)ø9$# ôQr& 4’n?tã A>qè=è% !$ygä9$xÿø%r& ÇËÍÈ
Artinya:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka
terkunci?” (QS. Muhammad [47]: 24).
3. Menggunakan lafadz tafakkara
4‘ym÷rr&ur y7•u‘ ’n<Î) È@øtª[“$#
Èbr& “ɋσªB$#
z`ÏB ÉA$t6Ågø:$# $Y?qã‹ç z`ÏBur
Ìyf¤±9$#
$£JÏBur tbqä©Ì÷ètƒ ÇÏÑÈ §NèO ’Í?ä. `ÏB
Èe@ä. ÏNºtyJ¨W9$#
’Å5è=ó™$$sù Ÿ@ç7ß™
Å7Înu‘
Wxä9èŒ
4 ßlãøƒs† .`ÏB $ygÏRqäÜç
Ò>#uŽŸ° ì#Î=tFøƒ’C ¼çmçRºuqø9r&
ÏmŠÏù Öä!$xÿÏ© Ĩ$¨Z=Ïj9
3 ¨bÎ) ’Îû
y7Ï9ºsŒ ZptƒUy
5Qöqs)Ïj9
tbrã©3xÿtGtƒ ÇÏÒÈ
Artinya: “Dan
Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di
pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah
dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah
dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang
bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi
manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda
(kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.” (QS. an-Nahl [16]:
68-69).
4. Menggunakan lafadz faqaha
ßxÎm6|¡è@
ã&s! ßNºuq»uK¡¡9$# ßìö7¡¡9$#
ÞÚö‘F{$#ur `tBur £`ÍkŽÏù 4 bÎ)ur `ÏiB >äóÓx«
žwÎ) ßxÎm7|¡ç„
¾Ínω÷Kpt¿2 `Å3»s9ur žw tbqßgs)øÿs? öNßgys‹Î6ó¡n@ 3 ¼çm¯RÎ) tb%x. $¸JŠÎ=ym #Y‘qàÿxî ÇÍÍÈ
Artinya: “Langit
yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak
ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak
mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya dia adalah Maha Penyantun lagi Maha
Pengampun.” (QS. al-Isra [17]: 44).
$tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$#
(#rãÏÿYuŠÏ9
Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR
`ÏB
Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB
×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9
’Îû
Ç`ƒÏe$!$#
(#râ‘É‹YãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u‘
öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâ‘x‹øts† ÇÊËËÈ
Artinya: “Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.” (QS. at-Taubah [9]: 122).
5. Menggunakan Lafadz Tazakkara
`yJsùr& ß,è=øƒs† `yJx. žw ß,è=øƒs† 3 Ÿxsùr& šcrãž2x‹s? ÇÊÐÈ
Artinya: “Maka
apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan
(apa-apa) ?. Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran. “ (QS. an-Nahl
[16]: 17).
6. Menggunakan Lafadz Fahima
yŠ¼ãr#yŠur
z`»yJøŠn=ß™ur øŒÎ) Èb$yJà6øts† ’Îû
Ï^öptø:$# øŒÎ) ôMt±xÿtR ÏmŠÏù ãNoYxî
ÏQöqs)ø9$# $¨Zà2ur öNÎgÏJõ3çtÎ:
šúïωÎg»x© ÇÐÑÈ $yg»oYôJ£gxÿsù z`»yJøŠn=ß™ 4 ˆxà2ur
$oY÷s?#uä $VJõ3ãm $VJù=Ïãur
4 $tRö¤‚y™ur yìtB yŠ¼ãr#yŠ tA$t7Éfø9$# z`ósÎm7|¡ç„ uŽö©Ü9$#ur 4 $¨Zà2ur šúüÎ=Ïè»sù ÇÐÒÈ
Artinya:
“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan
Keputusan mengenai tanaman, Karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing
kepunyaan kaumnya. dan adalah kami menyaksikan Keputusan yang diberikan oleh
mereka itu. Maka kami Telah memberikan pengertian kepada Sulaiman
tentang hukum (yang lebih tepat)[966]; dan kepada masing-masing mereka Telah
kami berikan hikmah dan ilmu dan Telah kami tundukkan gunung-gunung dan
burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. dan kamilah yang melakukannya.” (QS.
al-Anbiya [21]: 78-79).
7. Menggunakan lafadz ayat
àMÎ6Zムä3s9 ÏmÎ
tíö‘¨“9$#
šcqçG÷ƒ¨“9$#ur Ÿ@‹Ï‚¨Z9$#ur
|=»uZôãF{$#ur `ÏBur Èe@à2 ÏNºtyJ¨V9$#
3 ¨bÎ) ’Îû
šÏ9ºsŒ ZptƒUy
5Qöqs)Ïj9
šcrã¤6xÿtGtƒ ÇÊÊÈ
t¤‚y™ur ãNà6s9
Ÿ@ø‹©9$# u‘$yg¨Y9$#ur
}§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur
( ãPqàf‘Z9$#ur
7Nºt¤‚|¡ãB ÿ¾ÍnÌøBr'Î 3 žcÎ) ’Îû
šÏ9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9
šcqè=É)÷ètƒ ÇÊËÈ
Artinya:
“Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun,
korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan dia
menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang
itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami
(nya).” (QS. an-Nahl [16]: 11-12).
žcÎ) ’Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# Í‘$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy ’Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ
Artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali
Imran [9]: 190).
Di samping
ayat-ayat al-Quran beberapa hadis Nabi juga membicarakan tentang pentingnya
akal. Pada masa-masa awal, saat Nabi Muhammad SAW masih hidup, pemahaman
terhadap wahyu Allah bukan merupakan hal yang rumit. Sebab saat itu segala
persoalan bisa ditanyakan langsung kepada Nabi yang mempunyai hak otortatif
untuk menafsir wahyu-wahyu Allah. Namun setelah Nabi Muhammad SAW wafat, permasalahan yang
dihadapi umat Islam semakin kompleks. Oleh karena itu, masalah-masalah yang
muncul namun belum ada tuntunan penyelesaiannya baik dalam al-Quran maupun
as-Sunnah untuk mengatasinya maka muncullah jalan ketiga yakni Ijtihad.
Di sinilah
peran akal terutama dalam memahami wahyu Allah menjadi sangat urgen. Berkenaan
dengan hal ini ada sebuah hadis yang sangat terkenal. Diceritakan pada pada
saat Nabi Muhammad SAW hendak mengirim Mu’adz ke Yaman, Rasulullah bertanya:
Dengan apakah engkau hendak menjalankan hukum? Mu’adz menjawab, “Dengan kitab
Allah”. Lalu Nabi bertanya lagi, “Bagaimana jika engkau tak mendapat keterangan
dalam kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “Dengan sunah Rasul.” Nabi bertanya
lagi,”Bagaimana jika dalam sunahku juga tak kau dapati?” Mu’adz menjawab,”Saya
berijtihad dengan akal saya, dan saya tak pernah berputus asa.”
Hadis ini
sering dijadikan dalil berkenaan dengan peranan ijtihad dalam hukum Islam. Akal
dalam deskripsi di atas menempati posisi yang signifikan dalam berijtihad.
Namun demikian, di sana kita juga melihat isyarat bahwa posisi akal secara
hierarkis jatuh setelah al-Quran dan Sunah. Akal menempati posisi ketiga.
Berkenaan
dengan akal, Nabi Muhammad SAW bersabda; Agama adalah pengunaan akal, tiada
agama bagi orang yang tak berakal. Kemudian dalam sebuah hadis qudsi juga
disebutkan: Demi kekuasaan dan keagunganku, tidaklah kuciptakan makhluk yang
lebih mulia daripada engkau, karena engkaulah aku mengambil dan memberi dan karena engkaulah aku menurunkan pahala
dan menjatuhkan hukuman.
2.4.Fungsi Akal Dalam Memahami Ajaran Al
Quran
1.
Sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan
mengetahui kebenaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rosul, dimana keduanya
adalah sumber utama ajaran islam
2.
Merupakan potensi dan modal yang melekat pada
diri manusia untuk mengetahui maksud yang tercakup dalam pengertian Al-Qur’an
dan Sunnah Rosul.
3.
Sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan semangat Al-Qur’an
dan Sunnah yang dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan persoalan umat
manusia dalam bentuk ijtihat.
4.
Untuk menjabarkan pesan yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai
khalifah Allah, untuk mengelola dan memakmurkan bumi dan seisinya.
BAB III
PENUTUP
3.1.KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal
penting antara lain:
Ø Islam sangat mengapresiasi peran
akal. Baik ayat al-Qur’an, adis, maupun kaidah ulama ushul fikih dan mufasir
menekankan pentingnya peran akal bagai sebagai instrument untuk memahami
ajaran-ajaran Allah, maupun sebagai instrument pengembangan peradaban.
Ø Namun demikian, Islam menempatkan
akal dengan batasan-batasan tertentu. Dihadapakan pada wahyu Allah, akal
bersifat relative sedangkan wahyu Allah bersifat muthlak.
Ø Salah satu faktor penting yang pernah membawa Islam pada
puncak kegemilangan adalah karena pada saat itu umat Islam sangat memperhatikan
peran akal dengan mendorong semangat intelektual. Karenanya, dengan hal yang
sama pula kiranya umat ini akan merembut kembali kejayaannya.
Akal adalah suatu peralatan
rohaniah manusia yang berfungsi untuk
membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang
kemampuannya sangat tergantung luas pengalaman dan tingkat pendidikan, formal maupun informal, dari manusia pemiliknya. Jadi,
akal bisa didefinisikan sebagai salah satu peralatan rohaniah manusia yang
berfungsi untuk mengingat, menyimpulkan, menganalisis, menilai apakah sesuai
benar atau salah.Namun, karena kemampuan manusia dalam menyerap pengalaman dan
pendidikan tidak sama. Maka tidak ada kemampuan akal antar manusia yang
betul-betul sama. Fungsi
akal manusia yang paling besar adalah untuk mengetahui hakikat kebenaran. Apa
kebenaran sejati itu? Sekali lagi, bagi orang yang fitrahnya masih suci akan
mengakui bahwa kalau hanya akalnya, seorang manusia tidak akan mencapai
kebenaran sejati. Ia akan mengakui bahwa mengetahui kebenaran harus melalui
bimbingan Penciptanya yaitu Allah.
3.2.SARAN
Hendaknya mahasiswa dapat mengkaji lebih dalam mengenai : Fungsi-fungsi dari akal. Hendaknya mahasiswa dapat memperoleh
dan mengkaji materi mengenai agama islam. Dan selalu mengkaji dengan akal
sebagaimana kita sebagai makhluk yang memiliki akal.
DAFTAR PUSTAKA
http://fatwasyafiiyah.blogspot.com/2011/12/imam-asy-syafii-keterbatasan-akal.html