Makalah Kedudukan Dan Fungsi Akal

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Akal memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan mulia sekali didalam Islam. Dengan akal maka terselamatlah diri daripada mengikuti hawa nafsu yang sentiasa menyuruh untuk melakukan keburukan. Dan setiap perbuatan buruk adalah yang akan membawa manusia ke Neraka Jahannam, Allah berfirman :
Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) nescaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". [Q.S. Al-Mulk : 10]
Ayat ini menerangkan tentang penyesalan para penghuni neraka yang tidak mahu mendengar dan menggunakan akal ketika hidup di dunia. Bererti, kedudukan akal sangat tinggi dan mulia sekali ; iaitu mampu memelihara manusia dari api neraka.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan akal maka hukum-pun tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang tidak terkena beban apapun.

Didalam Islam, dalam menggunakan akal mestilah mengikuti kaedah-kaedah yang ditentukan oleh wahyu supaya akal tidak terbabas, supaya akal tidak digiring oleh kepentingan, sehingga tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, sehingga tidak menjadikan musuh sebagai kawan dan kawan pula sebagai musuh.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (kerana) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian darpadai mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya (dengan menggunakan akalmu).  [Q.S. Ali ‘Imran : 118]
Meskipun demikian, akal bukanlah penentu segalanya. Ia tetap memiliki kemampuan dan kapasitas yang terbatas. Oleh karena itulah, Allah SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan tersesat.

1.2.Rumusan Masalah

1.      Apakah Pengertian dari Akal ?
2.      Bagaimana kedudukan dan fungsi Akal dalam ajaran  islam?
3.      Bagaimana kedudukan dan fungsi Akal dalam ajaran Al quran?

1.3.Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah agar para pembaca dapat mengetahui bagaimana pentingnya mempelajari, mamahami, menjaga, dan menggunakan Akal yang diberikan kepada kita agar dapat difungsikan dengan sebaik baiknya sesuai dengan tujuan awal Allah SWT menganugerahkannya kepada kita umat manusia.

1.4.Manfaat
Banyak manfaat yang dapat kita pelajari dari makalah ini, diantaranya ialah:
1.      Kita dapat mengetahui apa pengertian dari akal,
2.      Kita dapat mengetahui bagaimana fungsi dan kedudukan akal,
3.      Memperluas wawasan kita mengenai akal  dan fungsinya menurut pemikiran islam
4.      Memperluas wawasan kita mengenai akal  dan fungsinya menurut pemikiran al quran.















BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Akal
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab al-munjid fi al-lughah wa al a’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera.  Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani atau hati sanubari.
 Pengaruh filsafat Yunani terhadap filosofi-filosofi muslim terlihat  dalam pendapat mereka  tentang akal yang dipahami sebagai salah satu daya dari jiwa (an-nafs/ ar-ruh) yang terdapat dalam diri manusia. Seperti  Al-Kindi (796-873) yang terpengaruh Plato, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwatiyah) yang berada di perut, daya berani (al-quwwah al-ghadabiyyah) yang bertempat di dada dan  daya berfikir (al-quwwah an-natiqah) yang berpusat di kepala. Sementara itu, di kalangan teolog muslim, mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan, seperti  pendapat Abu al-Huzail, akal adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, daya yang  membuat  seseorang dapat  membedakan dirinya dengan benda-benda lain, dan mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap oleh panca indera.
Dengan demikian akal dalam pengertian Islam, bukanlah otak, akan tetapi daya berfikir yang terdapat  dalam jiwa manusia, daya untuk memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Dalam pengertian inilah akal yang dikontraskan dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yakni dari Allah SWT.

2.2. Kedudukan dan Fungsi Akal dalam Ajaran Islam
2.2.1. Kedudukan Akal Dalam Syari'at Islam.
Syari'at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat penting dan tinggi terhadap akal manusia. Itu dapat dilihat dari point-point berikut:
1.      Allah subhanahu wa'ta'ala hanya menyampaikan kalam-Nya (firman-Nya) kepada orang-orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari'at-Nya. Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rohmat dari kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran". (QS. Shaad [38]: 43).
2.      Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk mendapat taklif (beban kewajiban) dari Allah subhanahu wa'ta'ala.
Hukum-hukum syari'at tidak berlaku bagi mereka yang tidak mempunyai akal. Dan diantaranya yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya. Rosululloh sholallahu 'alaihi wa sallama bersabda:
"رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ وَمِنْهَا : الجُنُوْنُ حَتَّى يَفِيْقَ"
"Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan, diantaranya: orang gila samapai dia kembali sadar (berakal)". (HR. Abu Daud: 472 dan Nasa'i: 6/156).
3.      Allah subhanahu wa'ta'ala mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Allah subhanahu wa'ta'ala terhadap ahli neraka yang tidak menggunakan akalnya. Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. 067. Al Mulk [67]: 10)
Dan Allah subhanahu wa'ta'ala mencela orang-orang yang tidak mengikuti syari'at dan petunjuk Nabi-Nya. Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. 002. Al Baqarah [2]: 170).
4.      Penyebutan begitu banyak proses dan aktivitas kepemikiran dalam Al-Qur'an, seperti tadabbur, tafakkur, ta'aquul dan lainnya. Seperti kalimat "La'allakum tafakkarun" (mudah-mudahan kalian berfikir) atau "Afalaa Ta'qiluun" (apakah kalian tidak berakal), atau "Afalaa Yatadabbarunal Qur'an" (apakah mereka tidak merenungi isi kandungan Al-Qur'an) dan lainnya.
5.      Al-Qur'an banyak menggunakan penalaran rasional.
Misalnya ayat-ayat berikut ini: Artinya:"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya". (QS. An Nisaa' [04]: 82)
Artinya:"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan". (QS. Al Anbiyaa' [21]: 22 )
Artinya:"Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?". (QS. Ath Thuur [52]: 35 ).
6.      Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fingsi akal.
Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al Baqarah [2]: 170)
Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti kebenaran.
Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal". (QS. Az Zumar [39]: 17-18).
Allah subhanahu wa'ta'ala menggunakan ayat kauniyah untuk membuktikaan adanya pencipta ayat kauniyah tersebut. Dan itu merupakan suatu proses berfikir (menggunakan akal) yang dibutuhkan untuk mengetahui adanya hubungan antara alam dan pencipta alam.
Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Yang Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?. Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah". (QS. Al Mulk [67]: 3-4)





2.2.2. Fungsi Akal dalam Memahami Ajaran Islam
Dalam hubungan dengan upaya memahami islam, akal memiliki fungsi yaitu sebagai berikut:
1.      Fungsi akal sebagai sarana kebebasan berfikir.
Islam sangat mengharagai kebebasan berfikir, karena suatu peradaban tidak akan pernah bangun tanpa kebebasan ini. Pemikiran bebas dapat membuka pintu pengetahuan sehingga karenanya bangsa-bangsa dan peradabannya tumbuh berkembang. Pemikitan adalah buah akal. Akal salah satu nikmat Tuhan yang dianugrahkan kepada manusia. Islam menganggap akal sebagai salah satu unsur keberadaannya dan suatu energi hidup didalam bangunannya yang tinggi. Karena itu islam selalu mengontrolnya dan memberinya batas-batas tertentu yang harus dilalui gerakannya, dan tidak boleh melangkah lebih jauh melalui batas-batas itu, agar tidak terjadi kerusakan dan kemudaratan di dalam kehidupan ini. Akal harus bergerak di bawah sinar roh islam yang datang untuk menyelamatkan manusia seluruhnya dari mara bahaya dan kerusakan.
2.      Akal memiliki fungsi yang sangat besar sekali didalam eksistensi manusia. Karena akal manusia bisa memikirkan apa-apa yang kongkrit dan juga abstrak. Karena kekuatan akal manusia bisa bertahan hidup didalam dunia ini.
3.      Fungsi akal manusia yang paling besar adalah untuk mengetahui hakikat kebenaran
4.      Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
5.      Sebagai alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
6.      Sebagai Alat penemu solusi ketika permasalahan datang.

2.2.3. Akal dalam Pemikiran Islam
Telah diketahui Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam memang lahir pada mulanya hanya sebagai agama di Makkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi negara, selanjutnya membesar di Damasyik, menjadi kekuatan politik internasional yang daerahnya luas dan akhirnya berkembang di baghdad menjadi kebudayaan bahlkan peradapan yang tidak kecil pengaruhnya, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, pada peradaban barat modern. Dalam perkembangan islam dalam kedua aspek itu, akal memainkan peranan penting, bukan dalam bidang kebudayaan saja, tetapi juga dalam bidang agama itu sendiri. Dalam membahas masalah-masalah keagamaan, ulama-ulama Islam tidak semata-mata berpegang pada wahyu, tetapi banayk pula bergantung pada pendapat akal.
Peranan akal yang besar dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan dijumpai bukan pula hanya dalam bidang filsafat, tetapi juga dalam bidang tauhid, bahkan juga dalam fikih dan tafsir sendiri .(Nasution Harun, 1986: 71)
1.      Fikih
Memulai pembicaraan tentang peranan akal dalam bidang fikih atau hukum Islam, kata faqiha sendiri mengandung makna faham atau mengerti. Untuk mengerti dan memahami sesuatu diperlukan pemikiran dan pemakaian akal.
Dengan demikian fikih merupakan ilmu yang menbahas pemahaman dan tafsiran ayat-ayat al-Qur’an, yang berkenaan dengan hukum. Untuk pemahaman dan penafsiran itu diperlukan ihtihad, ihtihad pada asalnya mengandung arti usaha keras dalam melaksanakan pekerjaan berat dan dalam istilah hukum berarti uasaha keras dalam bentuk pemikiran akal untuk mengeluarkan ketentusn hukum agama dan sumber-sumbernya.
2.       Ilmu Tauhid dan Teologi
Kalau dalam ilmu fikih peranan akal dalam hukum Islam yang dipermasalahkan, dalam ilmu tauhid atau ilmu kalam, permasalahannya meningkat menjadi akal dan wahyu. Yang dipermasalahkan adalah kesanggupan akal dan wahyu terhadap dua persoalan pokok dealam agama, yaitu adanya Tuhan serta kebaikan dan kejahatan.
3.      Falsafat
Sesuai denagn pengertian falsafat sebagai pemikiran sedalam-dalamnya tentang wujud, akal lebih banyak dipakai dan akal dianggap lebih besar dayanya dari yang dianggap dalam ilmu tauhid apalagi ilmu fikih. Sebagai akibatnya pendapat-pendapat keagamaan filosof lebih liberal dari pada pendapat-pendapat keagamaan ulamatauhid atau teolog, sehingga timbul sikap salah menyalahkan bahkan kafir-mengkafirkan diantara kedua golongan itu. Filosof-filosof Islam berkeyakinan bahwa antara akal dan wahyu, antara falsafat dan agama tidak ada pertentangan. Keduanya sejalan dan serasi.
Al-Farabi, filosof yang datang sesudah Al-Kindi, juga berkeyakinan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada pertentangan. Menurut pandangannya kebenaran yang dibawa wahyu dan kebenaran yang dihasilkan falsafat hasilnya satu, walaupun bentuknya berbeda. Al-Farabilahfilosof Islam pertama yang mengusahakan keharmonisan antara agama dan falsafat.
2.2.4.      Pemikir-Pemikir Pembaharuan Islam
Demikianlah kedudukan akal dan wahyu dalam pemikiran keagamaan Islam zaman klasik, yang terdapat dalam bidang fikih, bidang tauhid, dan bidang falsafat. Sesudah zaman klasik yang berakhir secara resmi pada pertengahan abad ketiga belas, pemikiran dalam Islam tidak berkembang. Tetapi pada zaman modern sekarang mulai pada permulaan abad ke-sembilan belas, pemikiran atas dorongan nasionalisme yang datang dari dunia barat mulai timbul kembali. Pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam Islam mulai menonjolkan kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur’an, dalam Hadis dan dalam sejarah pemikiran Islam.
Kedudukan tinggi dari akal di zaman modern ini dapat dilihat dalam pemikiran Ahmad Khan. Bagi  pemimpin pembaharuan dalam Islam di India ini hanya Al-Qur’an uang bersifat absolut dan harus dipercayai. Lainnya bersifat relatif, boleh diterima, boleh ditolak. Tetapi disamping itu ia punya kepercayaan yangkuat pada akal dan hukum alam. Islam dalam pendapatnya adalah agama yang sesuai dengan akal dan hukum alam. Oleh sebab itu pendapat-pendapat yang tidak sesuai dengan akal dan hukum alam timbul karena salah pemahaman ataupeun salah interprestasi tentang ayat-ayat al-Qur’an. Islam adalah agama yang sesuai denagan ilmu pengetahuan dan  teknologi modern. Disamping itu akal dapat membuat hukum mengenai hal-hal yang diatas untuk diamalkan oleh manusia.

2.2.5.  Peran Akal Dalam Memahami Islam
Ikatan antara akal dan agama adalah pembahasan yang cukup mendetail dalam sejarah pemikiran manusia. Banyak cabang pembahasan yang dibahas di dalamnya, di antaranya: bagaimana ikatan antara akal dan iman (dalam pandangan dunia Barat dan Islam)? Masalah yang perlu dilontarkan ikatan antara akal dan iman; keduanya menyangkut tentang keyakinan kita terhadap Allah Swt. Apakah keimanan atau kepercayaan terhadap sesuatu harus dijelaskan melalui dalil akal dan akal memberikan peran penting di dalamnya? Ataukah sudah merupakan hal yang jelas sehingga tidak butuh lagi oleh penjelasan dalil akal. Atau keimanan berdiri di luar garis tatanan akal dan tidak saling terkait? Bagaimana hubungan antara akal dan syariat?
1.      Akal dan Iman
Dalam pandangan agama Nasrani, pembahasan antara hubungan antara iman dan akal, terdapat dua pandangan yang saling bertentangan. Pertama, kesesuaian antara keyakinan-keyakinan agama dengan akal, contohnya; iman terhadap Tuhan sesuatu yang diterima secara akal (Rasionalisme) Salah satu tokohnya adalah Thomas Aquinas (1224-1273) berpendapat bahwa keimanan melalui pengajaran oleh kitab suci dan keseluruhan ajaran atau peraturan yang ada di dalamnya, adalah Tuhan langsung sebagai pengajarnya. Juga tidak diragukan sebagai kitab suci (perkataan Tuhan) yang diyakini adalah sudah merupakan hal-hal yang bersifat rasionalitas. Pendapat kedua, keyakinan-keyakinan agama tidak sesuai dengan akal (Fideisme). Di antara tokohnya adalah Alvin Plantinga (1932-) yang menyerupai fitrah pada diri manusia, dengan mengatakan keyakinan manusia terhadap Tuhan terdapat dalam jiwa manusia tanpa memerlukan dalil akal.
Hubungan akal dan agama secara jelas, bahwa akal dan agama merupakan suatu pemberian Allah Swt yang keduanya menyampaikan manusia kepada suatu kesempurnaan. Dalam ayat:; “Sesungguhnya kami turunkan alqur’an dengan bahasa arab supaya mereka berakal.” [1] Dalam Islam akal sangatlah terkait hubungannya dengan iman, yakni melalui akalnya dia akan memahami agama karena akal adalah salah satu sumber syariat Islam. Ikatan keduanya akan menghantarkan manusia ke jalan kebahagiaan. Dalam riwayat Imam Shadiq berkata:”Akal adalah dalil seorang mukmin. Dan petunjuk bagi orang mukmin.”Dalam riwayat lain disebutkan: “ Setiap yang berakal pasti memiliki agama. Dan yang mempunyai agama akan menghantarkan ia ke surga.”[2] Dalam ayat dan riwayat di atas secara tegas Islam sangat mementingkan masalah akal. Namun, ada beberapa pendapat dalam mazhab Islam yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan dan ada pula yang mendukung fungsi dan peran akal. Diantaranya: Pendapat Ahlul Hadist ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas dalam masalah keimanan dan agama adalah haram. Cukuplah perkara-perkara agama apa yang didatangkan oleh nabi.. Akal tidak mampu menyingkap hukum-hukum Tuhan. Juga mereka berpegang kepada penafsiran yang nampak(dhahir) yang ada pada alqur’an, sehingga adanya pengertian tajsim atau tasybih pada zat Tuhan. Begitu pula mereka mengklaim bid’ah terhadap penafsiran dan takwil ayat-ayat alqur’an. Pendapat kaum Mu’tazilah ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas yang sangat berlebihan. Pendapat Syiah Imamiyah untuk menyingkap hukum agama diperlukan dalil rasionalitas baik itu secara langsung maupun tidak langsung.

1.      Akal dan Syariat
Akal memberikan hukumnya dalam bentuk ikhtiyat(kehati-hatian), bara’ah (berlepas), pemilihan, memberikan fatwa penafian segala bentuk yang berbahaya, dan lain-lain. Namun, kita percaya bahwa semua perbuatan pasti mempunyai tujuan, dan manfaat tersebut akan kembali pada manusia. Dalam syariat pun berlaku demikian. Kita berkeyakinan bahwa semua hukum-Nya (termasuk hukum-hukum yang tidak diketahui manfaat dan tujuan oleh kita) memiliki tujuan dan bermanfaat bagi manusia. Bukan hanya tugas seorang ulama yang menemukan dengan melalui hasil ijtihadnya untuk menjelaskan hukum-hukum syariat tadi, juga tugas dari para pakar sains dan ilmuwan untuk menyingkap tujuan dari hukum-hukum tersebut. Para mujtahid bekerja sama dalam menyingkap hukum berdasarkan dalil-dalil yang didapat dari alqur’an dan hadist. Di sini Islam menentang adanya penafsiran hukum-hukum syariat berdasarkan pendapat sendiri.
2.3.Kedudukan Akal dalam Memahami  Al-Qur’an dan Sunah
     Sebagaimana ijmak para mufasir, ayat al-Qur’an yang pertama kali turun adalah surat al-‘Alaq, dengan redaksi ayat pertamanya sebagai berikut:
ù&tø%$# ÉOó$$Î y7Înu Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.” (QS. al-‘Alaq [96]: 1).
Jika kita cermati, perintah “iqra”(membaca) yang ada dalam ayat tersebut mengindikasikan agar manusia mengoptimalkan fungsi akal yang diberikan Allah kepadanya. Membaca berarti mengamati dan menalar sesuatu yang pekerjaan ini adalah domain akal. Dengan iqra inilah pada gilirannya manusia kemudian mempunyai ilmu pengetahuan dan pada gilirannya mampu menundukkan realitas.
Di banyak ayat dalam al-Qur’an, Allah senantiasa mengingatkan manusia untuk menggunakan akal pikiran dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda, diantaranya: nazara, tadabbara, tafakkara, faqiha, tadzakkara, fahima, ayat.[1][5] Dalam banyak ayat Allah juga menguatamakan orang-orang yang menggunakan akal pikirnya. Beberapa ayat yang berkaitan dengan hal ini adalah sebagai berikut:
1.       Menggunakan lafadz nazara
óOn=sùr& (#ÿrãÝàZtƒ n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# ôMßgs%öqsù y#øx. $yg»oYøt^t $yg»¨Y­ƒyur $tBur $olm; `ÏB 8lrãèù ÇÏÈ uÚöF{$#ur $yg»tR÷ŠytB $uZøŠs)ø9r&ur $pkŽÏù zÓźuru $uZ÷Fu;Rr&ur $pkŽÏù `ÏB Èe@ä. £l÷ry 8kŠÎgt ÇÐÈ
Artinya: “Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun? Dan kami hamparkan bumi itu dan kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, (QS. Qâf [5]: 6-7).

̍ÝàYuù=sù ß`»|¡RM}$# §NÏB t,Î=äz ÇÎÈ t,Î=äz `ÏB &ä!$¨B 9,Ïù#yŠ ÇÏÈ ßlãøƒs .`ÏB Èû÷üt É=ù=Á9$# É=ͬ!#uŽ©I9$#ur ÇÐÈ
Artinya: “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan. Yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” (QS. at-Thariq [86]: 5-7).



2.      Menggunakan lafadz tadabbara
ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr& y7øs9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿr㍭£uÏj9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä t©.xtFuŠÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÒÈ
Artinya: “Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shad [38]: 29)

Ÿxsùr& tbr㍭ytGtƒ šc#uäöà)ø9$# ôQr& 4n?tã A>qè=è% !$ygä9$xÿø%r& ÇËÍÈ
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad [47]: 24).

3.      Menggunakan lafadz tafakkara
4ym÷rr&ur y7u n<Î) È@øtª[$# Èbr& ÉσªB$# z`ÏB ÉA$t6Ågø:$# $Y?qãç z`ÏBur ̍yf¤±9$# $£JÏBur tbqä©Ì÷ètƒ ÇÏÑÈ §NèO Í?ä. `ÏB Èe@ä. ÏNºtyJ¨W9$# Å5è=ó$$sù Ÿ@ç7ß Å7Înu Wxä9èŒ 4 ßlãøƒs .`ÏB $ygÏRqäÜç Ò>#uŽŸ° ì#Î=tFøƒC ¼çmçRºuqø9r& ÏmŠÏù Öä!$xÿÏ© Ĩ$¨Z=Ïj9 3 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ZptƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇÏÒÈ
Artinya: “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.” (QS. an-Nahl [16]: 68-69).

4.      Menggunakan lafadz faqaha
ßxÎm6|¡è@ ã&s! ßNºuq»uK¡¡9$# ßìö7¡¡9$# ÞÚöF{$#ur `tBur £`ÍkŽÏù 4 bÎ)ur `ÏiB >äóÓx« žwÎ) ßxÎm7|¡ç ¾ÍnÏ÷Kpt¿2 `Å3»s9ur žw tbqßgs)øÿs? öNßgysÎ6ó¡n@ 3 ¼çm¯RÎ) tb%x. $¸JŠÎ=ym #Yqàÿxî ÇÍÍÈ
Artinya: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. al-Isra [17]: 44).

$tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts ÇÊËËÈ
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. at-Taubah [9]: 122).

5.      Menggunakan Lafadz Tazakkara
`yJsùr& ß,è=øƒs `yJx. žw ß,è=øƒs 3 Ÿxsùr& šcr㍞2xs? ÇÊÐÈ
Artinya: “Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa) ?. Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran. “ (QS. an-Nahl [16]: 17).

6.      Menggunakan Lafadz Fahima
yŠ¼ãr#yŠur z`»yJøŠn=ßur øŒÎ) Èb$yJà6øts Îû Ï^öptø:$# øŒÎ) ôMt±xÿtR ÏmŠÏù ãNoYxî ÏQöqs)ø9$# $¨Zà2ur öNÎgÏJõ3çtÎ: šúïÏÎg»x© ÇÐÑÈ $yg»oYôJ£gxÿsù z`»yJøŠn=ß 4 ˆxà2ur $oY÷s?#uä $VJõ3ãm $VJù=Ïãur 4 $tRö¤yur yìtB yŠ¼ãr#yŠ tA$t7Éfø9$# z`ósÎm7|¡ç uŽö©Ü9$#ur 4 $¨Zà2ur šúüÎ=Ïè»sù ÇÐÒÈ
Artinya: “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan Keputusan mengenai tanaman, Karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. dan adalah kami menyaksikan Keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka kami Telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)[966]; dan kepada masing-masing mereka Telah kami berikan hikmah dan ilmu dan Telah kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. dan kamilah yang melakukannya.” (QS. al-Anbiya [21]: 78-79).

7.      Menggunakan lafadz ayat
àMÎ6Zムä3s9 ÏmÎ tíö¨9$# šcqçG÷ƒ¨9$#ur Ÿ@ϨZ9$#ur |=»uZôãF{$#ur `ÏBur Èe@à2 ÏNºtyJ¨V9$# 3 ¨bÎ) Îû šÏ9ºsŒ ZptƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcr㍤6xÿtGtƒ ÇÊÊÈ t¤yur ãNà6s9 Ÿ@ø©9$# u$yg¨Y9$#ur }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur ( ãPqàfZ9$#ur 7Nºt¤|¡ãB ÿ¾Ín̍øBr'Î 3 žcÎ) Îû šÏ9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcqè=É)÷ètƒ ÇÊËÈ

Artinya: “Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya).” (QS. an-Nahl [16]: 11-12).

žcÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran [9]: 190).

Di samping ayat-ayat al-Quran beberapa hadis Nabi juga membicarakan tentang pentingnya akal. Pada masa-masa awal, saat Nabi Muhammad SAW masih hidup, pemahaman terhadap wahyu Allah bukan merupakan hal yang rumit. Sebab saat itu segala persoalan bisa ditanyakan langsung kepada Nabi yang mempunyai hak otortatif untuk menafsir wahyu-wahyu Allah. Namun setelah Nabi Muhammad SAW wafat, permasalahan yang dihadapi umat Islam semakin kompleks. Oleh karena itu, masalah-masalah yang muncul namun belum ada tuntunan penyelesaiannya baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah untuk mengatasinya maka muncullah jalan ketiga yakni Ijtihad.
Di sinilah peran akal terutama dalam memahami wahyu Allah menjadi sangat urgen. Berkenaan dengan hal ini ada sebuah hadis yang sangat terkenal. Diceritakan pada pada saat Nabi Muhammad SAW hendak mengirim Mu’adz ke Yaman, Rasulullah bertanya: Dengan apakah engkau hendak menjalankan hukum? Mu’adz menjawab, “Dengan kitab Allah”. Lalu Nabi bertanya lagi, “Bagaimana jika engkau tak mendapat keterangan dalam kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “Dengan sunah Rasul.” Nabi bertanya lagi,”Bagaimana jika dalam sunahku juga tak kau dapati?” Mu’adz menjawab,”Saya berijtihad dengan akal saya, dan saya tak pernah berputus asa.”
Hadis ini sering dijadikan dalil berkenaan dengan peranan ijtihad dalam hukum Islam. Akal dalam deskripsi di atas menempati posisi yang signifikan dalam berijtihad. Namun demikian, di sana kita juga melihat isyarat bahwa posisi akal secara hierarkis jatuh setelah al-Quran dan Sunah. Akal menempati posisi ketiga.
Berkenaan dengan akal, Nabi Muhammad SAW bersabda; Agama adalah pengunaan akal, tiada agama bagi orang yang tak berakal. Kemudian dalam sebuah hadis qudsi juga disebutkan: Demi kekuasaan dan keagunganku, tidaklah kuciptakan makhluk yang lebih mulia daripada engkau, karena engkaulah aku mengambil dan memberi dan karena engkaulah aku menurunkan pahala dan menjatuhkan hukuman.




2.4.Fungsi Akal Dalam Memahami Ajaran Al Quran
1.      Sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rosul, dimana keduanya adalah sumber utama ajaran islam
2.      Merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia untuk mengetahui maksud yang tercakup dalam pengertian Al-Qur’an dan Sunnah Rosul.
3.      Sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan semangat Al-Qur’an dan Sunnah yang dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan persoalan umat manusia dalam bentuk ijtihat.
4.      Untuk menjabarkan pesan yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, untuk mengelola dan memakmurkan bumi dan seisinya.























BAB III
PENUTUP

3.1.KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal penting antara lain:
Ø  Islam sangat mengapresiasi peran akal. Baik ayat al-Qur’an, adis, maupun kaidah ulama ushul fikih dan mufasir menekankan pentingnya peran akal bagai sebagai instrument untuk memahami ajaran-ajaran Allah, maupun sebagai instrument pengembangan peradaban.
Ø  Namun demikian, Islam menempatkan akal dengan batasan-batasan tertentu. Dihadapakan pada wahyu Allah, akal bersifat relative sedangkan wahyu Allah bersifat muthlak.
Ø   Salah satu faktor penting yang pernah membawa Islam pada puncak kegemilangan adalah karena pada saat itu umat Islam sangat memperhatikan peran akal dengan mendorong semangat intelektual. Karenanya, dengan hal yang sama pula kiranya umat ini akan merembut kembali kejayaannya.
Akal adalah suatu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat tergantung luas pengalaman dan tingkat pendidikan, formal maupun informal, dari manusia pemiliknya. Jadi, akal bisa didefinisikan sebagai salah satu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk mengingat, menyimpulkan, menganalisis, menilai apakah sesuai benar atau salah.Namun, karena kemampuan manusia dalam menyerap pengalaman dan pendidikan tidak sama. Maka tidak ada kemampuan akal antar manusia yang betul-betul sama. Fungsi akal manusia yang paling besar adalah untuk mengetahui hakikat kebenaran. Apa kebenaran sejati itu? Sekali lagi, bagi orang yang fitrahnya masih suci akan mengakui bahwa kalau hanya akalnya, seorang manusia tidak akan mencapai kebenaran sejati. Ia akan mengakui bahwa mengetahui kebenaran harus melalui bimbingan Penciptanya yaitu Allah.
3.2.SARAN

Hendaknya mahasiswa dapat mengkaji lebih dalam mengenai : Fungsi-fungsi dari akal. Hendaknya mahasiswa dapat memperoleh dan mengkaji materi mengenai agama islam. Dan selalu mengkaji dengan akal sebagaimana kita sebagai makhluk yang memiliki akal.



DAFTAR PUSTAKA

http://fatwasyafiiyah.blogspot.com/2011/12/imam-asy-syafii-keterbatasan-akal.html

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel