Review Novel Milea : Suara dari Dilan

Data Buku

Judul     : Milea Suara dari Dilan

Penulis : Pidi Baiq

Penerbit: Pastel Books Mizan, Cetakan II September 2016 (Cetakan I Agustus 2016)

Halaman: 357 hlm, 20,5x14cm

Harga    : Rp 79.000,-

"Perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh rindu." - Pidi Baiq

Review Novel Milea Suara dari Dilan



Kalimat di atas merupakan kalimat yang ada di cover novel Milea Suara dari Dilan. Pertama, aku mau bahas cover depannya. Cover novel Milea Suara dari Dilan ini, kurang lebih sama, sama novel Dilan yang kedua, di paling atas ada judul utamanya, ada sub judul di bawahnya, terus ada gambar ilustrasi Milea lagi nunduk, ada kutipan bukunya, dan ada nama ayah Piqi Baiq. Untuk warnanya abu, aku ngga begitu bisa kasih nilai untuk cover karena aku bukan anak desain. Tapi buat aku ya aku suka aja, abu itu kan identik sama SMA, dan kisah ini juga tentang mereka yang masih SMA. So, aku ngga ada masalah sama sekali sama covernya ini.

Oh iya itu aku beli novelnya bulan kemaren, bulan Agustus, aku ikut PO novelnya yang edisi Tanda Tangan Pidi Baiq + kaset musik gitu di mizanstore. Dan baru datang semingguan yang lalu, pas akhir bulan kayaknya, tanggal 31 Agustus 2016. Untuk kaset musiknya, aku belum denger sih. Jadi, ada beberapa lagu yang di dalemnya, cuma aku pernah baca reviewnya, katanya sih lagu-lagu yang ada di kaset itu udah ada yang share juga di YouTube. Hmm, entahlah yang penting aku senang dapet novel edisi ini!

Novel ini udah pasti nyeritain tentang Dilannya sendiri, karena yang nulis ini Dilan, tapi ya tetep dengan gaya penulisan Pidi Baiq. Bisa dibilang Novel Milea Suara dari Dilan ini adalah "jawaban" dari segala pertanyaan, dari semua kegelisahan Milea di novel sebelumnya. Rada nyesek sedikit sih pas baca, jadi pengen komentar, duh kenapa sih ngga gini, kenapa sih ngga gitu, ah gini sih, ah gitu sih. Dan aku juga jadi nangkep beberapa poin abis selesai baca novel ini.

Cerita di novel ini ngga begitu banyak cerita tentang romansa Dilan dan Milea. Engga begitu banyak. Padahal itu yang aku tunggu, serius! Di sini, Dilan lebih banyak cerita tentang persahabatannya, tentang teman-teman, keluarga, dan kesalahpahamannya tentang Milea. Tapi, semakin aku baca, aku semakin ngerti perasaan Dilan. Aku paham kenapa Dilan bersikap seperti itu ke Milea.

Di novel Milea Suara dari Dilan ini, menurut aku Dilan sama Milea itu sama-sama mendem sendiri tanpa mau nanya. Dilan, karena dia cowok, dia gengsi. Milea, karena dia cewek, dia cuma bisa nunggu. Karena sama-sama diem, ya jadinya sama-sama saling salah sangka. Aku yang baca ngerasa gimana gitu sama Dilan sama Milea, ah. Tapi, yaudah lah, Dilan sama Milea pun manusia, aku juga manusia dan aku juga ngga jarang ngelakuin hal yang sama kayak Dilan dan Milea (gengsian+cuma bisa nunggu aja).

Entah aku harus gimana ceritain dan ngejelasinnya. Tapi, sebenernya review novel ini simpel banget.
Kalau kalian penasaran kenapa Dilan gitu di novel sebelumnya, ya udah jawabannya di novel ini. Inti dari novel ini adalah kesalahpahaman. Satu poin bagus yang bisa kita ambil juga buat kehidupan nyata kita. Cielah.

 Aku ngga bisa kasih review yang panjang sih, karena menurut aku ya inti dari novel ini adalah penjelasan Dilan yang sisa ceritanya udah dijelaskan Milea di novel "Dilan, Dia Adalah Dilanku". Dan, dari ke-tiga novel "Best Seller" Pidi Baiq ini, aku bener-bener jatuh cinta sama novel Dilan yang pertama, novel yang bisa buat perasaan kayak lagi jatuh cinta. And seriously, thank so much Pidi Baiq udah mau thinking out of the box. Novel yang biasanya bahasanya baku, puitis, dsb, bisa jadi unik di tangan Pidi Baiq.

Dilan lucu sih….tapi….


Saya sejujurnya susah ketawa baca novel ini. Humor-humor khas anak FSRD (Fakultas Seni Rupa dan Desain) yang ya… gitu deh… Tapi akhirnya menyerah menahan jaim setelah baca puisi cinta yang ditulis Dilan untuk pacar barunya Cika.

Cika

Cika, Cikawao. Cika, Cikalong Wetan. Cika, Cikadut Atas. Cika, Cikarang Selatan. Cika, Cikaso Banjarsari. Cika, Cikahuripan. Cika, Cikajang Garut. Cika, Cikakak Sukabumi, Cika, Cikao Purwakarta. Cika, Cikamuning. Cika, Cikampek Pantura. Cika, Cikander Serang. Cika, Cikapundung Electronic Center. Cika, Cikapayang Dago. Cika, Cikawung Pandeglang. Cika, Cikawao Motor. Cika ada di mana-mana. Cika juga di dalam kepalaku. Cika juga di dalam semua perasaan riangku. (hal 341)

Nggak ada yang bisa bilang bahwa lucunya Dilan sama dengan lucunya Lupus ciptaan Hilman Hariwijaya, atau Cinta Brontosaurus-nya Raditya Dika, atau Jomlo-nya Aditya Mulya. Berbeda! Saya tidak bisa bilang lebih baik atau lebih buruk. Hanya berbeda.

Kritik tentang Dilan


Beberapa kepingan cerita sering saya tidak mengerti kenapa harus diselipkan disitu. Seperti cerita tentang laki-laki yang mendatangi Disa adiknya Dilan. Namanya Saka. Tapi Dilan menuduhnya memiliki nama panjang Sang Saka Merah Putih yang harus selalu dihormati. Andaikata bagian tentang Saka dihilangkan, tidak akan berpengaruh apa-apa pada alur cerita.

Bisa jadi novel ini tidak nyaman buat dibaca pecinta novel-novel apik rapi seperti karya Dewi Lestari, Andrea Hirata atau Ahmad Fuadi. Tapi daripada mengomeli penulis atau editornya yang payah banget, saya maklumi saja dengan menganggap inilah curahan hati anak SMA yang berusaha ditampilkan sejujurnya.

Walau sebenarnya agak terganggu juga dengan cara menerjemahkan bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia hanya yang menggunakan kata = atau sekedar diberi tanda kurung. Misalnya:

“Geus titah tiheula,” kata Apud ke aku. “Sugan weh leungit,” Artinya: “Udah, suruh duluan aja, kali aja dia hilang.”
“Gancang pisan leumpangna,” jawab Apud. (Cepat sekali jalannya.”)
“Teu boga bujal sigana mah,” jawab Apud. “(kayanya dia itu gak punya pusar.”)
“Kenapa?”
“Kuda pan teu boga bujal, jadi teru capean,” jawab Apud. (“Kuda, kan gak punya pusar, makanya kuda gak pernah capek.”)
(Milea Suara dari Dilan, hal 251)

Atau bagian:

“Yang pacaran meuni mesra!” kata Bi Eem tiba-tiba (meni mesra = nampak mesra banget).
( Dilan dia adalah Dilanku tahun 1991, hal 327).

Cara penerjemahan yang rasanya tidak akan kita temui dalam novel-novel karya penulis-penulis terkenal lain. Coba saja kita bandingkan dengan cara Ahmad Fuadi menuliskan bahasa daerahnya dalam novel Negeri 5 Menara (Gramedia, 2009).

Pak Etek Muncak dan kenek bersamaan berseru, “Alah kanai lo baliak. Kita kena lagi!” (Negeri 5 Menara, hal 21)

“Ndak ba’a do, sebentar lagi kita sampai!” seru ayah mencoba menenangkan sambil menggamit bahuku. Dalam Negeri 5 Menara – hal 22, yang dilengkapi dengan footnote menunjukkan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Saya harus mengakui, saya lebih suka gaya pengungkapan Milea yang apik di buku satu dan dua. Mungkin karena perempuan memang lebih jago mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata. Saya sampai lupa ada yang namanya Pidi Baiq dibalik buku ini. Acung dua jempol buat Pidi Baiq yang bisaanmembuat sudut pandang perempuan dalam tulisannya. Dengan sempurna! Tokoh-tokoh ini terasa begitu hidup. Bisa jadi karena sepertinya Dilan adalah Pidi Baiq di masa remajanya.

sumber :
http://shantystory.com/2016/09/28/ulasan-novel-milea-suara-dari-dilan-karya-pidi-baiq/
http://auliarahmahtnaz.blogspot.co.id/2016/09/review-novel-milea-suara-dari-dilan.html

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel